Minggu, 27 Desember 2015

LAKON MAK DAN AYAH


Adalah Bu Baedah yang memberi tugas menulis cerita tentang keluarga, sebab itu Cut Ida resah dibuatnya.Teman-teman ramai bersorak sila menyobek kertas di halaman belakang buku, menulis nama di pojok atas,duduk termenung sambil memikir.
Sebagian juga langsung menulis terilham cepat. Cut Ida pandang Fatimah menulis saksama,ketika Cut Ida tanya apa yang ia tulis.Ia bilang sedang menulis tentang Mak.Maknya penjual kangkung di kota. Juga Cut Ida tanya sama Ramli,ia anak paling nakal di kelas Cut Ida.

Bajunya tak pernah bersih ada saja diperbuat sewaktu jam main-main. Ramli menulis tentang ayahnya penarik becak. Siti lain lagi. Ia menulis tentang Mak dan ayahnya sekaligus. Sungguh mudah hati mereka bercerita. Sesekali bergantian membaca, ada yang terkikik seperti kuntilanak ketika membaca cerita.

Ada yang mengejek sambil berkata, tulisan kamu jelek.Kelas riuh sekali. Bu Baedah diam dan senyum- senyum saja. Tepuk Siti membuat Cut Ida terkejut lalu. Ia tanya, cerita apa yang kamu tulis? Cut Ida diam kala itu. Siti menarik kertas dan melihatnya, ”Cut Ida belum menulis?” Bocah berkepang dua itu menggeleng malu.

Kejap pintas Siti berpindah pergi sila berbisik ke teman-teman lain.Cut Ida dibuat malu olehnya. Cut Ida merasa sulit bercerita.Tak tahu menulis tentang siapa, tentang Mak? Ayah? Dek Bit? Semuanya tak menarik. Cut Ida hanya bisa diam di pojok kelas menunggu bel pulang berdering.Jika siang diberi tugas lalu tak siap,biasanya menjadi PR.

Nyata benar pikirannya, saat bel pulang berbunyi ramai tak bersiap tugas. Bu Baedah menyuruh mereka mengumpul tugas esok pagi. Sesaat lega batin Cut Ida,namun sekejap pula pusing itu datang lagi. Tiba di rumah ia tak bisa memikir sebab Mak dan Ayah kerap ribut.Ada saja dilempar ketika marah.

Kemarin Mak melempar gelas ke dinding. Bunyinya teramat keras hingga berdengung telinga.Dek Bit seperti biasa memeluk Cut Ida kuat.Tubuhnya yang besar tak kuasa Cut Ida menggendong lama. Ia menangis keras lepas itu,mereka berdua lantas hanya meringkuk lama di kamar. Mak dan Ayah masih bertengkar.

Kata Ayah, Mak perempuan lacur. Kata yang tak pernah tahu maknanya oleh Cut Ida.Berulang-ulang Ayah memekik itu, berkali-kali pula Mak kalap. Cut Ida hanya bisa menutup telinga Dek Bit hingga bocah kecil itu tak mampu mendengar. Suara piring pecah menyilang dalam tengkaran Mak Ayah.

Cut Ida dan Dek Bit semakin takut ketika mendengar suara Mak meraung kesakitan, sepertinya Ayah menampar ulang Mak. Saban hari mereka ribut.Kerap Cut Ida malu dengan teman-teman. Mereka sering mengejek Cut Ida jika main di tanah lapang. ”Mak dan Ayah, karue saja!” Berulang- ulang mereka bercakap seperti itu hingga panas telinga ini.

Cut Ida membaringkan Dek Bit di kasur. Kalau sudah seperti ini Dek Bit enggan tidur bersama Mak Ayah. Ia lebih memilih tidur dengan Cut Ida di kamar belakang.Dek Bit masih terlalu kecil,ia belum bisa berjalan.Masih merangkak sambil berceloteh tak jelas. Selepas membaringkan Dek Bit, Cut Ida mengambil buku dan pensil lantas duduk rapi di depan meja belajar.

Ingatan Cut Ida kembali ke tugas Bu Baedah.Menulis tentang keluarga. Namun sepanjang ia duduk, Cut Ida masih galau harus menulis tentang siapa. Cut Ida tak tertarik menceritakan Dek Bit yang masih terlalu dini.Tingkahnya hampir sama dengan yang lainnya. Jika Cut Ida menulis tentang Dek Bit, pasti teman-teman mengira Cut Ida menyontek.

Di kelasnya ada sekitar lima anak yang punya adik baru. Mungkin pula mereka menulis cerita sama. Cut Ida tak suka dibilang menyontek, terlebih jika Mala mengejeknya. Suaranya yang besar bisa terdengar semua anak di sekolah.Untuk itu, Cut Ida memilih enggan menceritakan Dek Bit.

Cut Ida ingin sekali menceritakan Nek Balah.Nenek tua penjual sayur di keudee Bang Bulah.Kulitnya keriput, rambutnya putih semua,jika berjalan harus memegang tongkat.Tapi ia masih kuat. Menarik jika Cut Ida menceritakannya. Tapi apa Bu Baedah mau terima karangan Cut Ida? Sebab Nek Balah bukan neneknya? Cut Ida semakin pusing. Dek Bit sudah terlelap.

Suara tengkaran Mak dan Ayah sesekali terdengar namun tak terlalu keras lagi.Walau seperti itu Cut Ida masih sukar menulis cerita. Apa ia harus menulis tentang amarah Mak dan Ayah saban malam? Piring dan gelas yang pecah? Makian? Marahan? Itu tak menarik baginya.

Cut Ida tak ingin nanti teman-teman menertawai. Mereka tak punya Mak dan Ayah yang selalu bertengkar.Mereka semua pasti menceritakan tentang Mak yang baik hati, selalu mengajar mereka mengaji, membeli makanan, tak pernah keluar rumah malam hari,tak pernah memaki,yang selalu mencium kening anaknya jika ingin pergi.

Begitu juga dengan Ayah mereka yang selalu memberi uang jajan yang banyak, tak pernah menampar Mak, mengantar ke sekolah. Pasti temanteman kelas menceritakan hal-hal seperti itu. Cut Ida tak ingin beda seorang diri. Buku itu masih kosong, belum ada garisan pensil.

Cut Ida masih galau menulis apa. Ingin sekali bercerita bohong tentang Mak dan Ayah, tapi baginya itu sama saja sebab temanteman Cut Ida banyak tahu perkara Mak dan Ayah. Di luar Mak dan Ayah ribut lagi.Cut Ida menutup kedua telinganya berusaha tak mendengar.Diliriknya jam menjelang pukul 23.00 WIB.

Cut Ida ingin semuanya membaik segera.Doa kerap dipinta dalam ujung salat.Ia ingin sekali punya Mak seperti Mak Fatimah yang selalu mengantar Fatimah pulang, ingin punya Ayah seperti Ayah Ramli yang selalu memberi jajan yang banyak.Perasaannya menggebu-gebu menginginkan itu.

Cut Ida tak punya saudara dekat, kedua nenek-kakeknya telah meninggal, ia hanya punya Dek Bit yang tak mampu menampung kesedihannya. Kerap tak kuasa membendung tangis, ia membariskan seluruh keinginannya; ingin melihat Mak dan Ayah tak saling memukul,ingin tak ada lagi makian, tak ingin lagi mendengar piring gelas pecah.

Ingin Dek Bit tidur kembali dengan Mak sebab selama ini Cut Ida kesempitan di atas kasur.Tak mau lagi mendengar tanya tetangga, ”Pakeun Mak ngon Ayah kah,Cut Ida?” Ia ingin semua itu hilang dari hidup dan pergi sejauh mungkin.Hingga tersadar lalu pintas buku Cut Ida telah berbaris sekelumit kisah.

Lepas itu lega batinnya mengetahui tugas Bu Baedah telah selesai. Walau sadar karangannya tak akan sama dengan yang lain. Ia tersenyum kecut ketika hendak menutup buku, namun seraut kemudian tengkaran Mak dan Ayah terdengar semakin hebat.Mak memekik, Ayah berkata-kata keras.

Entah barang apa lagi yang dilempar.Bunyinya sangat gaduh.Suara gesekan dan hentakan kaki saling menyilang dengan gedoran pintu. Sesekali suaranya lenyap sulit ditangkap Cut Ida. Cut Ida semakin risau, perlahan ia menuju pintu dan mengintip lewat celah sempit dari pintu terkuak sengaja.

Mak menangis kuat hingga terisak tubuhnya. Raut Ayah murka. Berulang-ulang mengatai Mak lacur sira berkacak pinggang. Mak berontak berlalu ke kamar dari hadapan Ayah. Gedoran pintu dipukul kuat.Sejenak Cut Ida melirik Dek Bit bersiaga jika ia terbangun. Ketika memastikan Dek Bit masih terlelap Cut Ida kembali menyimak tengkaran Mak Ayah.

Batinnya nelangsa, apa Allah tak mendengar doanya dalam sujud salat? Kali ini dadanya tersentak. Dalam sembab mata Mak keluar dari kamar dengan membawa tas besar. Jaket tebal dierat rapat. Beberapa tas kecil dijinjingnya. ”Mak ke mana?” keluar bocah itu dari kamar. Suaranya bernada parau menahan tangis.

Mak memeluk Cut Ida erat.Tubuh mereka berdua berguncang hebat, ”Mak pergi sebentar saja, Cut Ida dengan Ayah ya?Mak sayang…” ”Istri tak tau di untung! Mau pergi ke mana kamu,ngeh! Mau ke mana?!!” Ayah mengcengkram dagu Mak. Cut Ida mundur beberapa langkah ketakutan. Tangisnya kini membuncah.

”Peu urusan kah!!”sahut Mak keras sambil melepas cengkeraman itu dan berlalu mengambil tas besar.Jalannya tergopoh-gopoh.Lalu membuka pintu dan larut dalam kegelapan. Mereka tak sempat beradu pandang. Mak juga tak mencium kening Cut Ida.Bergegas dikejarnya ke pintu depan, hanya malam menyambut Cut Ida.Mak tak ada lagi di luar sana.

* * *
Pagi ini Bu Baedah masuk tepat waktu.Teman-teman kelas Cut Ida telah siap dengan karangannya masingmasing. Mereka bertukar gurau di bangku belakang. Cut Ida diam saja, hanya sembab mata pertanda ia menangis keras semalam. ”Ya, sekarang seperti janji kita kemarin,kumpul tugas mengarang…” ujar Bu Baedah di depan kelas. Bergegas suasana berubah gaduh.

Bunyi meja dan kursi digeser berpadu dengan teriakan teman-teman sekelas. Cut Ida membuka tas dan mengambil secarik kertas berisi ceritanya. Sejenak ia membaca ulang. Dadanya sesak tak karuan, tangisnya ingin pecah ketika membaca karangan itu.

Diyakini keinginannya tak akan terwujud. Mak pergi dan belum pulang hingga pagi ini. Hingga kejap kemudian ia dirasuk penyesalan. Jika tahu seperti ini alangkah baiknya menulis tentang Dek Bit saja. ”Ayo, siapa lagi yang belum kumpul? Ayo, cepat! Cepat!”(*)

Dimuat di surat kabar Seputar Indonesia (SINDO) April 2009

 


Baca selengkapnya

KRUENG




Cut Bida idam ke krueng.
Sungguh berharap sekali serasa kakinya tak sabar untuk kesana. Bermain air bersama Rahmah dan Nyak Bit, menangkap ikan dengan jaring-jaring, bermain perahu, memericik air ke muka atau sekedar mencuci.
Tapi ketika niat itu ada, Mak selalu melarang dengan alasan; main di krueng bisa membuat perut kembung, digigit ular, atau sebagainya. Padahal dulu Mak yang selalu mengajaknya mencuci baju ke krueng. Kini semua anak pun dilarang ke krueng oleh orangtuanya.

Seingat Cut Bida sejak lama ia bermain-main di krueng. Walau jaraknya jauh bocah itu tetap ingin kesana. Tak peduli jika harus melewati sawah dan menerobos kebun-kebun. Baginya krueng adalah segala-galanya.
Kini ia hanya bisa bermain tali dirumah Nyak Bit. Benar-benar tak mengenakan. Mak-nya selalu marah jika kami berteriak. Bermain bola keong di rumah Rahmah juga seperti itu, tak boleh bersuara sebab ia baru punya adik baru. Terlebih jika bermain di tanah lapang, rasanya tak berani takut terkena peluru nyasar. Cerita Mak, kini kampung tak lagi aman.
Semuanya membuat Cut Bida bosan. Benar-benar tak menyenangkan bermain seperti ini. Ia sangat rindu ke krueng. Ingin bersegera berlari kesana. Namun ketika niat itu ada, lagi-lagi Mak-Ayah melarang.

Apalagi kini yang ia tahu Mak juga semakin jarang ke krueng. Untuk mencuci baju Mak lebih sering ke meunasah menimba air. Bukan Mak saja yang kini mencuci baju ke meunasah, Mak Rahmah juga seperti itu, Mak Nyak Bit juga. Semuanya ikut-ikutan Mak. Minggu pagi sumur meunasah ramainya minta ampun.
Cakap mereka serius hingga kadang-kadang terkejut. Cut Bida penasaran melihatnya. Ketika bocah laki bermain bola Cut Bida ikut menonton. Tak sengaja ia mendengar omongan Mak. Mereka menyinggung-nyinggung krueng. Katanya,krueng tak lagi nyaman.

Kening Cut Bida berkerut mendengarnya. Apa yang terjadi? Keingintahuan terbesit.

Keesokannya Cut Bida mengajak Rahmah dan Nyak Bit ke krueng. Awalnya mereka tak mau, takut jika ketahuan Ayah akan dimarahi. Cut Bida memaksa. Ia membujuk mereka dengan hal-hal indah tentang krueng. Terlebih telah lama mereka tak ke sana.
Rahmah dan Nyak Bit mengangguk. Setuju mereka ke krueng selepas pulang sekolah nanti. Tak perlu berganti seragam atau harus makan nasi dulu, mereka berlari menuju krueng diam-diam.

Dari jauh hanya gemericik air terdengar. Tak ada celoteh terlebih tawa. Begitu sepi. Baru kali ini Cut Bida bergidik ketika ke krueng, hal sama dirasakan kedua temannya. Penasaran makin kuat ketika bau menusuk hidung begitu dekat.
Tersontak mereka saat berjalan menepi. Seonggok badan tak berkepala terapung-apung di krueng. Sudut lain, tangan terlepas dari tungkai, kepala terputus dari badan turut menyembul.

Cut Bida, Rahmah, dan Nyak Bit tergugu. Darah seakan terhenti. Ketakutan besar membuat mereka berlari kencang. Tak ingin menoleh ke belakang, terasa dikejar. Sepanjang pulang mereka berteriak menyebut-nyebut mayat.
Cut Bida menelan kisah itu sendirian tak berani bercerita pada siapapun. Detak jantungnya bergerak tak biasa. Mengapa krueng menjadi tempat menakutkan sekarang. Kemana larinya ikan-ikan kecil yang mengalir di krueng? Kemana perahu-perahu kecil itu? Kemana semua hal-hal menyenangkan?

Tiap malam ia selalu berdoa agar tubuh-tubuh itu tak lagi mengapung di krueng. Pergi terbawa arus dan enggan kembali.
Seakan tak pernah terkabul, kampung semakin tak bersuara lepas itu. Tak lagi tawa canda menggema sore hari, tak ada lagi suara teungku Yahya mengajar iqra’, meunasah kosong, Mak pun semakin jarang mencuci ke meunasah. Rahmah dan Nyak Bit semakin jarang main ke rumah.

Semuanya hilang. Krueng semakin sepi, terkadang warga berbondong-bondong mengangkat tubuh dari krueng. Lalu membawa ke meunasah untuk disholatkan. Hal terus berulang-ulang sampai Cut Bida tak sanggup lagi menghitungnya.

Ia sadar wajah kampung tak lagi ramah. Ada saja yang berteriak setiap malam, memekik ketakutan. Suara senapan disahut suara bom seperti Cut Bida tonton di TV. Atau bunyi jejak langkah sepatu di tengah malam yang membuat Mak semakin erat memeluk tubuhnya.
Cut Bida sangat ketakutan sekarang. Ia selalu erat memeluk Mak. Sedetikpun tak ingin berpisah. Cut Bida tak ingin merasakan seperti Nyak Bit rasakan.

Tiga hari lalu selepas pulang sekolah, Cut Bida melihat Nyak Bit berguling-guling di pasir. Airmatanya keluar deras. Cut Bida melihat tak kuasa banyak.
Mak dan Ayahnya diseret paksa. Dimasukkan ke dalam mobil pick-up. Nyak Bit tak mengerti mengapa Mak dan Ayahnya dibawa pergi. Walau ia berteriak sekeras mungkin mereka tak mau melepaskan juga. Sekedar untuk mencium pun  tak sempat.

Mak dan Ayahnya dibawa pergi entah kemana. Ia meraung semakin kuat sambil berguling-guling. Seragamnya kotor.
Ba’da itu baru warga kampung berani mendekat. Mak juga datang menenangkan Nyak Bit.  Menyapu airmatanya. Ramai yang menangis ketika itu.

Hingga kini Mak dan Ayah Nyak Bit belum juga pulang, ia semakin kurus tak ingin makan. Sungguh kasihan tampangnya.
Melihat itu Cut Bida tak ingin berpaling sedetikpun dari Mak dan Ayah. Ia takut kehilangan mereka. Di luar semakin mencekam. Mesiu bersahutan menebar ketakutan. Lelaki tak boleh lagi berkeliaran di kampung. Dituduh macam-macam hingga ditendang tanpa ampun.

Mak suka menangis selepas salam. Ayah juga demikian, lirih ia selalu membaca yasiin. Sedangkan Cut Bida masih menerawang krueng.
Air mengalir berbenturan dengan batu besar.
Burung-burung kecil beterbangan, sesekali mematuk ke dalam air melepas dahaga.
Rumput hijau.
Ikan-ikan kecil bermunculan.
Kerikil yang jelas terlihat dari dasar krueng. Air jernih. Indah sekali.
Ingin sekali ia kesana. Tapi mengingat apa yang terjadi ia kembali menelan rasa.

***

Malam merangkak. Ketakutan menjelang.
Helaan nafas terdengar jelas dalam bumi yang sunyi. Terlebih ketika pintu digedor paksa. Bunyinya lantang. Cut Bida meringkuk ke tubuh Mak. Mata mereka beradu pandang.
Ayah menahan nafas. Memandang Mak dan Cut Bida seperti mengharap jawaban. Gedoran semakin kuat. Hentakan terdengar keras. Sumpah serapah memanggil-manggil nama Ayah. Tercekat kerongkongan mereka.
Perlahan mata Mak tergenang ketika Ayah menuju pintu. Ia turut berdiri juga lalu mengikuti Ayah. Cut Bida duduk termenung di kursi dengan hati berdebar.

Angin menyibak ketika pintu terbuka. Orang-orang berbedil besar berdiri angkuh menuding Ayah dengan hal-hal tak megah. Lalu mendorong hingga Ayah terjerembab.
Mak membela. Berusaha mengusir tapi mereka enggan pergi bahkan memukul Mak. Cut Bida menangis melihatnya. Seperti percikan api mereka membawa pergi Ayah begitu cepat. Mak berusaha mengejar. Cut Bida ikut serta dalam kebingungan. Apa yang terjadi?
Sejak malam itu Mak selalu murung. Sesekali menangis, tetangga berdatangan sekedar menghibur lantas pulang kembali. Rumah kian sunyi. Kini rasa rindu Cut Bida bertambah bukan hanya untuk bermain di krueng, tapi menunggu Ayah pulang.

Hari-hari berlalu hampir sama. Mesiu yang menyalak, bom meledak, suara ratapan. Cut Bida tak ubah dengan perasaannya. Kapan Ayah pulang?
Dan suara teriakan warga mengagetkan Mak dan Cut Bida suatu petang. Berbondong-bondong mereka menujukrueng. Mak berlarian. Selendang jatuh tak diperdulikan. Cut Bida turut serta ingin tahu apa yang terjadi.
Sesuatu melayang-layang di krueng. Bergerak kesana kemari dibawa arus.  Semua menutup hidung karena bau. Beberapa orang turun ke krueng, menarik sosok itu ke pinggiran. Melihatnya Mak meraung-raung. Cut Bida berguling-guling, hal sama yang pernah dilakukan Nyak Bit.

Itu Ayah!

Dia tak lagi bergerak. Sekujur tubuhnya biru legam. Warga menggotongnya ke rumah, membalut dalam kafan dan mengiringi dalam tahlilan.
Lepas itu Cut Bida tetap hidup. Ia mengubur rindu hingga dalam. Tak lagi mengharap Ayah pulang. Dan enggan bermain di krueng. Baginya, krueng kini tak lagi menyenangkan.


Dimuat di majalah SABILI 2007

***
Krueng         : Sungai
Meunasah     : Mushalla


Baca selengkapnya

Lelaki Seberang Kota



Perempuan itu menebalkan gincunya. Bibirnya merekah. Alis dihitam melengkung sabit. Ia tersenyum sumringah. Menggerakkan badan didepan cermin. Merendahkan sedikit bajunya. Sambil menatap jam, ia mengacak rambut basahnya. Sudah pukul dua malam. Ia melirik ke pintu masuk. Kosong.

Gelisahnya tak karuan. Tak biasanya akhir pekan sesepi ini. Ia melongok keluar dari jendela. Menatap baris kursi panjang yang tak rapi. Pekerjanya, para gadis muda diluar  hanya melongo. Sebagian bergoyang mengikuti musik gegap. Asap rokok mengepul membentuk kabut dari mulut-mulut mereka.

“Mengapa bisa sesepi ini, ngeh? Sudah larut pula,” ia bersuara sambil berdiri didepan pintu bilik mungilnya. Gadis-gadis itu mengangguk pelan. Sebagian beranjak kearahnya. Sebagian tetap memilih duduk termenung ditemaram lampu.

Ia membenarkan tali baju yang melorot, “Tak biasanya lelaki-lelaki itu ingkar, terlebih malam pekan seperti ini,”

Gadis-gadis didepannya mengangguk pelan, “kami sudah berdandan sejak sore tadi. Tak ada yang singgah. Hanya pemuda mabuk yang sering menggoda,”

Cepat perempuan itu melangkah. Melongok keujung jalan. Air gemericik terdengar dari sungai kecil sebelah bilik. Jembatan melintang diatasnya. Penghubung dua kota berbeda. Dan dari arah jembatan sana, kota seberang, lelaki-lelaki itu sering muncul. Saban pekan. Kendaraan-kendaraan mereka memenuhi jembatan pembatas kota. Riuh. Sesak. Menuju kemari. Seperti ada yang menggebu-gebu kuat tak tahan dari tubuh mereka. Namun tidak malam ini. Senyap. Sepi.

“Kalian apakan lelaki-lelaki itu pekan kemarin, ngeh?!! Bikin mereka senang saja kalian tak becus!!” ia menuding gadis-gadis pekerja didepannya. Mereka tertunduk pelan. Mengigit bibir bawah ketakutan.

“Kami tak pernah membuat mereka kecewa, kami menemani mereka dengan baikk...” seseorang bersuara dalam ketakutan. Ia gadis paling merah gincunya malam ini. Ia masih sedikit risih dengan baju minimnya. Perempuan itu baru mengajaknya bergabung dua minggu lalu. Mengaturnya selayak ia mengatur gadis-gadis lain.

Asap rokok mengepul pelan. Perempuan itu melirik lagi jam ditangan kirinya. Matanya tetap berharap diujung jembatan. Bahh! Hampir jam tiga malam, tak seorangpun lelaki-lelaki itu datang. Puntung rokok dibuang. Dilumat dengan ujung sepatu high heelsnya. Angin malam mendera. Hawa dingin terbawa. Mengibas tubuhnya yang minim. Melecut kulit kerutnya. Ia tak bergeming. Sudah biasa saban malam.

“KAU! KAU!! KAU!!!” ia menunjuk geram kebeberapa gadis didepannya. Mereka terkesiap. “Kau bertiga, segera kesana!! Lihat apa yang terjadi. Ajak lelaki-lelaki kota seberang itu kemari. Goda mereka semampu kalian! Jangan kembali sebelum mengajak mereka..”

Tiga gadis bertubuh mungil itu bersiap. Merapikan rambut tergurainya. Membenarkan baju minimnya. Pelan mereka berjalan. Menuju jembatan panjang penghubung kampung seberang.

Limabelas menit berjalan, tiga gadis itu berbalik arah. Tergopoh-gopoh berlarian. Menenteng sepatu high heelsnya. Suara mereka nyaring ketakutan. Mengabarkan ada lampu-lampu pijar diujung jembatan yang menyalak terang. Menahan ratusan kendaraan milik lelaki-lelaki disana.

Perempuan itu ketakutan. Gadis-gadis muda itu berhamburan. Ia berusaha menenangkan. Melongok keujung jembatan. Memastikan apa yang terjadi. Benar! Ada cahaya terang menyalak diujung sana. Cahaya tak bergerak. Tertahan dibibir jembatan. Mobil patroli menutup muka jembatan. Dibelakangnya, ratusan cahaya juga menyala. Berkedip-kedip. Meraung diikuti klakson-klakson bising. Perempuan itu geram. Gemeretuk menahan emosi. Membenci para penahan-penahan itu.

Belum habis rasa penasarannya. Dari balik rimbun semak pinggir sungai seorang lelaki muncul. Tubuhnya kelelahan. Bajunya basah kuyup. Membentuk perut besar miliknya. Rambut tipisnya tersibak. Ia menyeberangi sungai berarus pelan dibawah jembatan.

“Kami dihadang!! Kami dihadang!!” lelaki berperut besar itu menunjuk keseberang sungai. Kota tempat ia berasal. Nafasnya tersengal-sengal. Ia bersandar dikaki meja. Melepaskan kelelahan. Gadis-gadis muda itu mendekat. Menyuguhkan air. “Hhhffhh..saya dilarang untuk masuk kemari. Kami dirazia. Orang tu menghadang dengan peraturan-peraturan. Terpaksa tinggalin mobil disana...” sambung lelaki itu.

Semenit kemudian, dua lelaki muncul seketika. Stelan jasnya awut-awutan. Rambut klimisnya tak lagi rapi. Sejumput rumput menempel dikerah baju kemejanya, “kami dilarang kemari. Mobil patroli tutup jembatan waktu kami kemari,”

Lelaki lain muncul lagi disudut berbeda. Badannya tegap. Basah. Membentuk otot-otot diperutnya. Ia membantu menarik lelaki dibelakangnya yang hampir tenggelam.

Gadis-gadis muda ketakutan. Sebagian berhamburan. Menutup tubuh mereka dengan kain rapat. Takut jika patroli-patroli itu akan meringkus mereka. Dinyalakan lampu agar bilik tak lagi temaram. Terang. Dipadamkan musik gegap. Seketika suasana berubah tak lagi remang.

Perempuan itu menenangkan. Ia berusaha berjalan diatas jembatan. Memastikan keadaan diujung sana. Mobil patroli dengan sirene berdesing menutup bibir jembatan kota seberang. Petugas berseragam menghalau lelaki-lelaki itu. Sebagian melongok kearah sungai.

Macammana ini, kita akan ditangkap mereka. Kami tak mau dikurung, dicambuk, kita harus larii...” gadis-gadis itu berkumpul didekat perempuan itu. Matanya sembab.

Perempuan itu menahan, “tidak perlu! Mereka tak akan berani kemari. Disini bukan tempat mereka. Tangan mereka tak mampu menguasai disini,” ia menenangkan gadis-gadis muda didepannya, “tenang,tenang..” lanjutnya sambil menepuk bahu-bahu mereka.

“Masih banyak lelaki-lelaki tak peduli hadangan ini. Mereka nekad untuk berenang. Lihat itu..” ia menunjuk kearah sungai. Puluhan lelaki mengarungi malam. Mencari jalan pintas, meninggalkan kendaraan mereka.

Para penghadang hanya melihat. Tak bisa berbuat banyak. Menghela nafas kekalahan. Perempuan itu tersenyum picik. Merapikan bajunya yang melorot, “kerja kita akan tetap sama seperti kemarin-kemarin. Jangan pedulikan para penghadang itu...”

Gadis-gadis muda itu sesenggukkan. Menghalau ketakutan. Dan menyeka airmata. Perempuan itu merangkul. Menggiring kembali menuju bilik.
Semenit kemudian. Lampu menyalak terang. Menyilau dari mobil-mobil patroli milik kota seberang. Bergerak mendekat. Cepat hingga menggebu menderu. Tersadar, perempuan dan gadis-gadis muda itu berlarian. Ketakutan. Jantung berdegup berlebihan. Jembatan berguncang. Mereka menutup tubuh-tubuh mereka dari serangan lemparan. Perih. Bertubi-tubi hingga memerah kulit mereka. Bau amis menyeruak. Lengket. Tersadar, telur-telur busuk melumuri tubuh-tubuh mereka.

Dimuat di Serambi Indonesia feb 2013


Baca selengkapnya

Ibu di Dasar Laut

Ini sebuah berawal dari curhatan teman-teman. Tentang perubahan sosok Ayah mereka ketika seorang wanita baru hadir di tengah kehidupan mereka. Tanpa dipungkiri, pasca tsunami banyak lelaki Aceh yang menikah lagi ketika istrinya meninggal saat peristiwa.
Maka berubahlah suasana. Ayah berbeda ketika ibu tiri ada.
Saya teringat seorang teman bercerita bahkan nyaris menangis. Ketika ia merasa Ayahnya semakin berbeda. Sekedar berdoa mengingat Ibu pun jarang dilakukan. Dan entah kenapa, di bulan ini kisah itu kembali berputar. Maka kutulislah cerpen ini.
Untuk tema besar ku pastikan cerita ini terlalu biasa. Ada jamak orang menulis serupa. Tapi inti semuanya ingin kukabari, ada seseorang terluka disaat seorang Ayah bahagia. Anak. Entah dalam diam atau meraung kesakitan.
Dan pagi ini, cerita itu dimuat di salah satu media massa di Aceh, bertepatan peringatan sembilan tahun tsunami 26 Desember silam.
Berikut kupostingkan tulisan aslinya. Di koran Serambi Indonesia ada beberapa kata/kalimat yang diganti.
Yang ingin baca di korannya bisa klik disini 





 SEKARANG Bida paham apa itu rindu.
Baginya idam bukan sebatas hujan menebas kering di saat siang. Atau seperti payung menggelembung menunggu hujan. Untuknya  rindu lebih dari itu. Berdegup-degup tak mampu ditahan seumpama tiupan ombak yang datang berdepa-depa. Rasa itu selalu hadir bila mengenang Ibu.
Berdua mereka kerap menghabiskan hari bersama-sama. Belajar mata pelajaran, mengantarnya ke sekolah, atau mengajak Bida berkeliling kota. Tak pernah sekalipun ia mendengar Ibu menghardik hingga meninggi suara. Tak pernah juga melotot sampai menegang urat mata. Bagi Bida, Ibu adalah bidadari berhati peri
Hingga suatu pagi Ibu tak lagi pulang. Saat bumi bergetar lalu lautan bergerak cepat menebas apa yang ada. Dan ketika laut kembali surut. Di saat rumput kembali menjalar dan pohon tak lagi meranggas. Hanya Ayah yang menemaninya di saat senggang di rumah yang tak lagi sama.
Bida menghabiskan masa sendirinya bersama kanak-kanak lainnya. Bercengekerama dimeunasah, bermain tali di tanah lapang, berkeliling kampung dengan sepeda. Lalu pulang menjelang maghrib. Lantas duduk menghabiskan malam dengan Ayah seorang diri. Di saat seperti itu gebu rindunya menjadi-jadi. Ia teringat Ibu.
“Kenapa Ibu tidak pulang, Ayah?’
Ayah hanya terdiam. Wajahnya kerap teduh lantas mengembun jika mendengar pertanyaan itu.
“Ibu akan pulang. Tidurlah, ia akan menjumpaimu, Bida.”
Ayah benar. Ibu menjumpainya dalam malam-malam larut. Memeluk hingga sesak tak mampu bernafas. Berdua mereka duduk di rumput rimbun bercahaya terang. Di bawah pohon yang memayung teduh. Wajah Ibu lebih berseri dengan gaun putih menjulur hingga ke tanah.
Saat Bida ingin merasa nyata, selalu ia tersentak. Ibu tak ada. Tidak di kamar, di dapur, atau di ruang tamu. Ibu pergi dengan sayap kupu-kupu lalu masuk ke dalam pintu gerbang berlorong terang. Itu penggalan yang ia ingat sebelum terjaga.
Tersadar, Bida hanya mampu menangis. Memanggil Ibu hingga lengking memecah malam. Ayah lalu menenangi memeluk erat tubuh mungilnya. Sungguh Bida rindu Ibu.
“Apa Ibu tenggelam di laut juga, Ayah?” tanyanya suatu malam. Itu ia ucap selepas bermain dengan kanak-kanak di meunasahkampung. Halimah, teman Bida, bercerita Ibu dan adiknya hilang setelah air besar itu datang.
“Mak dan adikku meninggal kena tsunami. Sama juga seperti Ibumu Bida,” ujar Halimah.
Ayah hanya terdiam. Lantas mengangguk pelan berurai basah. Lepas itu Ayah kerap sering mengajak Bida menuju tanah lapang berumput padat. Tanah lapang berundak-undak dengan sebaran batu di atasnya.
“Disini Bida bisa kirim doa untuk Ibu,”
“Kenapa harus disini?” tanyanya.
“Sebab Ibu tidur disini,”
Dan Bida paham Ibunya selayak Ibu Halimah. Ia turut pergi saat air menggaruk tajam.
Lantas selepas itu kesedihan bergelayut sempurna. Sesekali Ayah mengajak Bida ke kota melepas sedih. Sekedar bermain kereta kuda atau berbelanja baju di pasar malam. Ayah juga mengajarinya berdoa untuk mengenang Ibu. Menyisipkan setiap doa selepas shalat. Mengudarayaasiinketika malam Jumat, berziarah makam, atau lirih beristiqhfar ketika rindu datang tiba-tiba. Itu ia lakukan selalu tanpa putus-putus. Kata Ayah itu cara ampuh untuk meredam rindu.
Ayah turut melakukan sama. Terkadang Bida menangkap sendu di wajah Ayah. Lelaki itu kerap terpekur lama selepas shalat. Atau bacaan yaasiinnya terdengar parau ketika malam jumat. Tapi tetap saja rindu selayak air mendidih. Meluap-luap hingga tangis buncah dan dada sesak gulana.
Bida idam Ibu. Sangat.
Ayah menatap ini sebagai pekara baginya. Ia ingin membahagiakan Bida hingga tangisnya tak lagi muncul. Ingin membuat Bida tersenyum, hingga bibirnya melengkung membentuk lesung di kedua pipinya.
Maka kemudian seorang perempuan hadir di tengah mereka. Bida menyebutnya Bunda. Ayah menikahinya seminggu lalu dengan acara sederhana. Bida hanya terpekur melihat Ayah melamar wanita bertahi lalat di atas bibir itu.
Saat itu Bida melihat Ayah tersenyum lebih cerah. Seakan sinar bulan berpindah ke wajahnya yang legam. Namun pekara itu tak berlaku bagi Bida. Untuknya Bunda seperti perempuan berjubah hitam menunggangi sapu lidi seperti ia lihat di televisi.
Ia kerap menghardik keras hingga berdengung telinga. Memelototi Bida seperti hendak menelannya bulat-bulat. Bunda juga tak peduli jika Bida menangis. Tak juga ia mengajak Bida keliling kota atau menemaninya belajar. Bunda sering marah. Bukan hanya padanya tapi juga pada Ayah.
Bersilang lidah saban malam. Tapi di lain waktu mereka seperti tak pernah terjadi apa-apa. Kerap bercanda terlebih ketika adik Husein hadir di tengah mereka. Ayah dan Bunda semakin bahagia. Tertawa riang hingga melebar rahang.
Ternyata hadir Bunda tak mampu memadam rindu akan Ibu. Bagi Bida rindu itu masih menggantung, bahkan terasa lebih rumit. Terkadang tangisnya kerap buncah dengan rasa berbeda. Lebih perih. Tak ada lagi Ayah datang menenanginya. Menyuruhnya tidur dan memohon berjumpa Ibu di tanah lapang benderang. Tak ada lagi nasehat Ayah sambil membelai rambutnya. Atau  memintanya mengirim berdoa untuk melepas idam.
Ayah beda.
Ia lebih cenderung bersama Husein, adik kecil periuh rumah. Bida juga tak lagi melihat Ayah terpekur lama di atas sajadah dengan wajah teduh. Kerap ia lihat selepas shalat Ayah bergegas pergi. Tangannya tak lagi menengadah berdoa untuk Ibu. Dan Bida pun tak lagi mendengar bacaan yaasiinAyah ketika malam Jumat tiba.
“Ibu sudah di surga, ia telah syahid” sahut Ayah ketika Bida tanya keheranannya.
Kala itu Bida hanya mampu terdiam saat mendengar ujaran Ayah. Tapi ketika malam pikirannya bergelayut. Jika memang Ibu sudah di surga kenapa lalu-lalu Ayah begitu tekun berdoa untuk Ibu?
Ingin ia mengucap itu. Tapi lidahnya kelu terasa. Ia takut jika Ayah marah dan menghardiknya. Sebab pernah sekali Ayah menghardiknya keras saat Bida tanpa sengaja menumpahkan susu ke tubuh Husein. Amarah yang membuat Bida ketakutan.
Maka kerinduan Bida seakan sempurna di saat bulan menutup tahun. Ketika hujan tumpah dan tanah basah olehnya. Bida teringat Ibu di bulan sama saat mereka berpisah di tengah air.
“Disini Bida bisa kirim doa untuk Ibu,”
Terngiang kembali ucapan Ayah ketika itu. Tapi entah kenapa kali ini Bida harus pergi dengan Halimah. Mengendarai sepeda menuju tanah lapang berumput padat dengan sebaran batu di atasnya.
“Ayahmu kenapa tak ikut ziarah, Bida?”
Bida hanya terdiam saat Halimah tanya keheranan. Ingin rasanya ia bercerita banyak apa yang ia lihat beberapa hari silam. Ketika Ayah membungkus baju rapat di dalam tas. Ketika Ayah dan Bunda sibuk berburu tiket, dan rencana keseruan mereka berlibur di pulau seberang.
Bida tetap menunggu Ayah di kerumunan orang-orang yang terisak-isak sambil lirih baca yaasiin. Diedarkan matanya mencari sosok Ayah atau Bunda yang mungkin akan hadir mendoa Ibu.
Nihil. Mereka tak datang hingga matahari meninggi ketika siang.
Sungguh begini, Bida ingin menangis lebih keras. Mungkin dengan suara berbeda sambil memeluk Ibu, lebih erat hingga ke dasar lautan.
###

Baca selengkapnya