Ini sebuah berawal dari curhatan teman-teman.
Tentang perubahan sosok Ayah mereka ketika seorang wanita baru hadir di tengah
kehidupan mereka. Tanpa dipungkiri, pasca tsunami banyak lelaki Aceh yang
menikah lagi ketika istrinya meninggal saat peristiwa.
Maka berubahlah suasana. Ayah berbeda ketika ibu tiri ada.
Saya teringat seorang teman bercerita bahkan nyaris menangis. Ketika ia merasa Ayahnya semakin berbeda. Sekedar berdoa mengingat Ibu pun jarang dilakukan. Dan entah kenapa, di bulan ini kisah itu kembali berputar. Maka kutulislah cerpen ini.
Untuk tema besar ku pastikan cerita ini terlalu biasa. Ada jamak orang menulis serupa. Tapi inti semuanya ingin kukabari, ada seseorang terluka disaat seorang Ayah bahagia. Anak. Entah dalam diam atau meraung kesakitan.
Dan pagi ini, cerita itu dimuat di salah satu media massa di Aceh, bertepatan peringatan sembilan tahun tsunami 26 Desember silam.
Berikut kupostingkan tulisan aslinya. Di koran Serambi Indonesia ada beberapa kata/kalimat yang diganti.
Maka berubahlah suasana. Ayah berbeda ketika ibu tiri ada.
Saya teringat seorang teman bercerita bahkan nyaris menangis. Ketika ia merasa Ayahnya semakin berbeda. Sekedar berdoa mengingat Ibu pun jarang dilakukan. Dan entah kenapa, di bulan ini kisah itu kembali berputar. Maka kutulislah cerpen ini.
Untuk tema besar ku pastikan cerita ini terlalu biasa. Ada jamak orang menulis serupa. Tapi inti semuanya ingin kukabari, ada seseorang terluka disaat seorang Ayah bahagia. Anak. Entah dalam diam atau meraung kesakitan.
Dan pagi ini, cerita itu dimuat di salah satu media massa di Aceh, bertepatan peringatan sembilan tahun tsunami 26 Desember silam.
Berikut kupostingkan tulisan aslinya. Di koran Serambi Indonesia ada beberapa kata/kalimat yang diganti.
Yang ingin baca di
korannya bisa klik disini
SEKARANG Bida paham
apa itu rindu.
Baginya idam bukan sebatas hujan
menebas kering di saat siang. Atau seperti payung menggelembung menunggu hujan.
Untuknya rindu lebih dari itu. Berdegup-degup tak mampu ditahan seumpama
tiupan ombak yang datang berdepa-depa. Rasa itu selalu hadir bila mengenang
Ibu.
Berdua mereka kerap menghabiskan hari
bersama-sama. Belajar mata pelajaran, mengantarnya ke sekolah, atau mengajak
Bida berkeliling kota. Tak pernah sekalipun ia mendengar Ibu menghardik hingga
meninggi suara. Tak pernah juga melotot sampai menegang urat mata. Bagi Bida,
Ibu adalah bidadari berhati peri
Hingga suatu pagi Ibu tak lagi pulang.
Saat bumi bergetar lalu lautan bergerak cepat menebas apa yang ada. Dan ketika
laut kembali surut. Di saat rumput kembali menjalar dan pohon tak lagi meranggas.
Hanya Ayah yang menemaninya di saat senggang di rumah yang tak lagi sama.
Bida menghabiskan masa sendirinya
bersama kanak-kanak lainnya. Bercengekerama dimeunasah, bermain
tali di tanah lapang, berkeliling kampung dengan sepeda. Lalu pulang menjelang
maghrib. Lantas duduk menghabiskan malam dengan Ayah seorang diri. Di saat
seperti itu gebu rindunya menjadi-jadi. Ia teringat Ibu.
“Kenapa Ibu tidak pulang, Ayah?’
Ayah hanya terdiam. Wajahnya kerap
teduh lantas mengembun jika mendengar pertanyaan itu.
“Ibu akan pulang. Tidurlah, ia akan
menjumpaimu, Bida.”
Ayah benar. Ibu menjumpainya dalam
malam-malam larut. Memeluk hingga sesak tak mampu bernafas. Berdua mereka duduk
di rumput rimbun bercahaya terang. Di bawah pohon yang memayung teduh. Wajah Ibu
lebih berseri dengan gaun putih menjulur hingga ke tanah.
Saat Bida ingin merasa nyata, selalu ia
tersentak. Ibu tak ada. Tidak di kamar, di dapur, atau di ruang
tamu. Ibu pergi dengan sayap kupu-kupu lalu masuk ke dalam pintu gerbang
berlorong terang. Itu penggalan yang ia ingat sebelum terjaga.
Tersadar, Bida hanya mampu menangis.
Memanggil Ibu hingga lengking memecah malam. Ayah lalu menenangi memeluk erat
tubuh mungilnya. Sungguh Bida rindu Ibu.
“Apa Ibu tenggelam di laut juga, Ayah?”
tanyanya suatu malam. Itu ia ucap selepas bermain dengan kanak-kanak di meunasahkampung.
Halimah, teman Bida, bercerita Ibu dan adiknya hilang setelah air besar itu
datang.
“Mak dan adikku meninggal kena tsunami.
Sama juga seperti Ibumu Bida,” ujar Halimah.
Ayah hanya terdiam. Lantas mengangguk
pelan berurai basah. Lepas itu Ayah kerap sering mengajak Bida menuju tanah
lapang berumput padat. Tanah lapang berundak-undak dengan sebaran batu di
atasnya.
“Disini Bida bisa kirim doa untuk Ibu,”
“Kenapa harus disini?” tanyanya.
“Sebab Ibu tidur disini,”
Dan Bida paham Ibunya selayak Ibu
Halimah. Ia turut pergi saat air menggaruk tajam.
Lantas selepas itu kesedihan bergelayut
sempurna. Sesekali Ayah mengajak Bida ke kota melepas sedih. Sekedar bermain
kereta kuda atau berbelanja baju di pasar malam. Ayah juga mengajarinya berdoa
untuk mengenang Ibu. Menyisipkan setiap doa selepas shalat. Mengudarayaasiinketika
malam Jumat, berziarah makam, atau lirih beristiqhfar ketika
rindu datang tiba-tiba. Itu ia lakukan selalu tanpa putus-putus. Kata Ayah itu
cara ampuh untuk meredam rindu.
Ayah turut melakukan sama. Terkadang
Bida menangkap sendu di wajah Ayah. Lelaki itu kerap terpekur lama selepas
shalat. Atau bacaan yaasiinnya terdengar parau ketika malam jumat. Tapi tetap
saja rindu selayak air mendidih. Meluap-luap hingga tangis buncah dan dada
sesak gulana.
Bida idam Ibu. Sangat.
Ayah menatap ini sebagai pekara
baginya. Ia ingin membahagiakan Bida hingga tangisnya tak lagi muncul. Ingin
membuat Bida tersenyum, hingga bibirnya melengkung membentuk lesung di kedua
pipinya.
Maka kemudian seorang perempuan hadir
di tengah mereka. Bida menyebutnya Bunda. Ayah menikahinya seminggu
lalu dengan acara sederhana. Bida hanya terpekur melihat Ayah melamar wanita
bertahi lalat di atas bibir itu.
Saat itu Bida melihat Ayah tersenyum lebih
cerah. Seakan sinar bulan berpindah ke wajahnya yang legam. Namun pekara itu
tak berlaku bagi Bida. Untuknya Bunda seperti perempuan berjubah hitam
menunggangi sapu lidi seperti ia lihat di televisi.
Ia kerap menghardik keras hingga
berdengung telinga. Memelototi Bida seperti hendak menelannya bulat-bulat.
Bunda juga tak peduli jika Bida menangis. Tak juga ia mengajak Bida keliling
kota atau menemaninya belajar. Bunda sering marah. Bukan hanya padanya tapi
juga pada Ayah.
Bersilang lidah saban malam. Tapi di
lain waktu mereka seperti tak pernah terjadi apa-apa. Kerap bercanda terlebih
ketika adik Husein hadir di tengah mereka. Ayah dan Bunda semakin
bahagia. Tertawa riang hingga melebar rahang.
Ternyata hadir Bunda tak mampu memadam
rindu akan Ibu. Bagi Bida rindu itu masih menggantung, bahkan terasa lebih
rumit. Terkadang tangisnya kerap buncah dengan rasa berbeda. Lebih perih. Tak
ada lagi Ayah datang menenanginya. Menyuruhnya tidur dan memohon berjumpa Ibu
di tanah lapang benderang. Tak ada lagi nasehat Ayah sambil membelai rambutnya.
Atau memintanya mengirim berdoa untuk melepas idam.
Ayah beda.
Ia lebih cenderung bersama Husein, adik
kecil periuh rumah. Bida juga tak lagi melihat Ayah terpekur lama di atas
sajadah dengan wajah teduh. Kerap ia lihat selepas shalat Ayah bergegas pergi.
Tangannya tak lagi menengadah berdoa untuk Ibu. Dan Bida pun tak lagi mendengar
bacaan yaasiinAyah ketika malam Jumat tiba.
“Ibu sudah di surga, ia telah syahid”
sahut Ayah ketika Bida tanya keheranannya.
Kala itu Bida hanya mampu terdiam saat
mendengar ujaran Ayah. Tapi ketika malam pikirannya bergelayut. Jika
memang Ibu sudah di surga kenapa lalu-lalu Ayah begitu tekun berdoa untuk Ibu?
Ingin ia mengucap itu. Tapi lidahnya
kelu terasa. Ia takut jika Ayah marah dan menghardiknya. Sebab pernah sekali
Ayah menghardiknya keras saat Bida tanpa sengaja menumpahkan susu ke tubuh
Husein. Amarah yang membuat Bida ketakutan.
Maka kerinduan Bida seakan sempurna di
saat bulan menutup tahun. Ketika hujan tumpah dan tanah basah olehnya. Bida
teringat Ibu di bulan sama saat mereka berpisah di tengah air.
“Disini Bida bisa kirim doa untuk Ibu,”
Terngiang kembali ucapan Ayah ketika
itu. Tapi entah kenapa kali ini Bida harus pergi dengan Halimah. Mengendarai
sepeda menuju tanah lapang berumput padat dengan sebaran batu di atasnya.
“Ayahmu kenapa tak ikut ziarah, Bida?”
Bida hanya terdiam saat Halimah tanya
keheranan. Ingin rasanya ia bercerita banyak apa yang ia lihat beberapa hari
silam. Ketika Ayah membungkus baju rapat di dalam tas. Ketika Ayah dan Bunda
sibuk berburu tiket, dan rencana keseruan mereka berlibur di pulau seberang.
Bida tetap menunggu Ayah di kerumunan
orang-orang yang terisak-isak sambil lirih baca yaasiin. Diedarkan matanya
mencari sosok Ayah atau Bunda yang mungkin akan hadir mendoa Ibu.
Nihil. Mereka tak datang hingga
matahari meninggi ketika siang.
Sungguh begini, Bida ingin menangis
lebih keras. Mungkin dengan suara berbeda sambil memeluk Ibu, lebih erat hingga
ke dasar lautan.
###
Bagikan
Ibu di Dasar Laut
4/
5
Oleh
Ferhat Muchtar